(Opini) Jokowi dan Kekuatan Politik Sipil

By Admin


- Membaca Harapan

nusakini.com - Barangkali, tak ada yang menafikan bila ‘bintang terang’ perjalanan  Jokowi menapaki karier politiknya hingga menduduki puncak di republik saat ini tidak bisa dilepaskan dari ‘kekuatan’ kelompok-kelompok sipil. Organisasi yang banyak terhimpun dalam kelompok sipil inilah yang sejak awal meletakkan basis rujukan langkah bagi Jokowi dalam membangun brand politik kerakyatannya.

Jokowi memang merupakan fenomena menarik dalam jagad politik di Indonesia. Menapak karier politik dari bawah serta mampu menghadirkan “sihir” politik pada media massa merupakan bagian yang telah banyak ditelaah dan ditulis oleh para pakar dari berbagai perspektif. Namun yang agak kurang diulas adalah bagaimana pelibatan ‘kekuatan sipil’ dan people power menjadi bagian yang demikian penting dalam karier politik seorang Jokowi.

Fenomena ini memang tidak terlepas dari adanya pergeseran paradigma pemilih (konsituen) dalam menjatuhkan pilihan politiknya. Era ideologi dalam partai tidak lagi menjadi referensi utama para pemilih. Dengan kata lain, dalam politik kontemporer saat ini, loyalitas pemilih tidak lagi bertumpu pada lembaga-lembaga resmi politik, namun berberalih pada kecenderungan personalisasi politik yang tajam.

Di sini, brand politik seorang tokoh menjadi demikian dominan. Para pemilih kemudian meletakkan dirinya dan basis pilihan politiknya sama dan sebangun dengan  basis referensinya sebagai seorang consumer. Pada umumnya para pemilih sangat bersifat individualistik pada satu sisi serta juga menekankan rujukan komunitasnya dalam menentukan pilihan di sisi yang lain. Dengan begitu, kelompok-kelompok kepentingan sipil yang dianggap memiliki sejarah integritas serta komitmen panjang dalam memperjuangkan isu-isu tertentu juga sangat berpengaruh.

Ummi Salamah dalam bukunya “Brand Pemimpin Politik” (2015), secara gamblang menjelaskan fenomena pergeseran politik tersebut. Menurutnya, tumpuan paling mendasar dari pergeseran kecenderungan politik ini dilandasi oleh bergesernya orientasi yang memayungi cara pandang para pemilih. Gelombang revolusi teknologi-informasi benar-benar meletakkan era mutakhir ini sebagai era “tontonan”. Dalam dunia politik, era ini kemudian ditandai dengan semakin ditanggalkannya referensi konvensional di mana ideologi partai menjadi rujukan utamanya. Masyarakat pemilih menjadi sangat “sensitive” terhadap citra yang ditampilkan seorang tokoh politik.

Inilah yang menjelaskan mengapa dalam menjatuhkan pilihan politiknya, masyarakat sangat tergantung pada brand dan personalisasi tokoh politik. Dalam ilmu marketing modern, hal ini merupakan praktek yang sangat lazim, di mana suatu produk dikemas sedemikian rupa sehingga pada titik tertentu mampu menjadi bagian dari identitas dari sasaran target market-nya.

Dengan demikian, loyalitas kemudian dibangun berdasarkan citra. Proses identifikasi yang sangat ditekankan adalah merangkul sisi emosional consumer (pemilih). Di sinilah ‘suasana kebatinan” para pemilih menjadi demikian penting, di mana harapan serta kebutuhan terdalam pemilih (consumer) diajak untuk ‘terlibat’ mengidentikkan diri mereka pada sebuah produk atau tokoh politik.

Kata kuncinya memang terletak pada bagaimana menciptakan dan membangun harapan. Tapi harapan itu tidak lagi terletak pada “mimpi” besar ideologi sebagaimana era politik klasik dulu, namun lebih menukik pada brand personal tokoh politik. Dengan demikian, nilai-nilai pragmatisme politik menjadi lebih dominan. Dan loyalitaspun dibangun dari sana.

Loyalitas yang Rapuh

Dalam konstalasi pergeseran paradigma politik mutakhir seperti itulah sosok Jokowi menapaki karier politiknya. Tak dapat dipungkiri bahwa kemampuan serta keunikan pribadi Jokowi merupakan nilai tambah yang sangat besar dalam membangun brand personality yang menarik. Dengan kata lain, daya gugah yang dihadirkannya mampu menjadi magnet terutama bagi media massa sebagai instrumen pembentuk opini publik.

Pada titik inilah harapan masyarakat, faktor personalitas Jokowi dan nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi sumber perjuangan kekuatan sipil kemudian bertemu pada muara yang sama. Kekuatan kelompok sipil yang memainkan peranan sebagai opinion leader pada isu-isu tertentu  memang tak bisa diabaikan dalam bingkai politik saat ini. Bagaimanapun, dalam sebuah sistem demokrasi serta semakin ‘terpersonalisasikannya’ kekuatan politik pada figur, maka peranan kekuatan kelompok sipil juga semakin signifikan.

Dinamika antara sosok Jokowi, kekuatan kelompok sipil dan media massa bisa dikatakan adalah faktor penentu dari rising start perjalanan politik Jokowi. Fenomena ini memang menjadi corak khas dari zaman yang meletakkan ‘emotionial interest’ sebagai sumbu penggeraknya. Dalam ruang simbiosis seperti iltulah, masyarakat pemilih mengendapkan referensi politiknya serta menjadikannya sebagai rujukan dalam menjatuhkan pilihan politik.

Barangkali bahwa visi-misi dan program seorang tokoh politik juga punya nilai dalam pertimbangan masyarakat dalam menjatuhkan pilihan politiknya. Namun hal tersebut hanya menjadi sorotan terbatas pada kalangan ‘terdidik’ dan kelompok kepentingan sipil. Kalangan terdidik serta kelompok kepentingan inilah yang kemudian menerjemahkannya dalam bentuk dukungan.

Dalam konteks pemilih kebanyakan, bisa dikatakan bila mayoritas pemilih di ‘era tontonan’ini tergerak menjatuhkan pilihannya bersadarkan emotional interest lewat proses identifikasi diri bersama tokoh politiknya. Dengan kata lain, seorang tokoh politik merupakan personifikasi langsung dari seluruh harapan yang tumbuh dalam diri pemilih.

Karena perekat yang menghubungkan antara masyarakat pemilih dengan tokoh politik adalah ketertarikan emosional dan bulan lagi berupa perekat ideologis, maka dengan sendirinya loyalitas yang terbangun antara tokoh politik dan para pemilihnya adalah loyalitas pragmatis yang sangat rapuh. Hal ini sangat wajar mengingat corak identifikasi yang dibangun para pemilih adalah identifikasi harapan-harapan yang diinginkannya.

Bila harapan-harapan itu kemudian dipersepsi tidak terpenuhi maka dengan gampang para pemilih berbalik menjadi ‘penentang’ dari tokoh politik tersebut. Fenomena ini telah banyak kita saksikan dalam jagad politik Indonesia, di mana tokoh politik yang semula mendapat dukungan luar biasa kemudian harus menerima kenyataan semakin lama dukungan itu semakin tergerus dan berubah menjadi kebencian.

Hal seperti inilah yang perlu diwaspadai dan menjadi alarm bagi kepemimpinan Jokowi saat ini. Bahwa ‘gelar’ pemimpin rakyat atau pemimpin yang lahir oleh kekuatan rakyat  adalah beban yang harus senantiasa dikelola dengan baik. Merawat ekspektasi rakyat dalam iklim loyalitas politik yang rapuh ini memang menjadi pertaruhan yang besar. Karena bila tidak dirawat, maka dukungan bisa sewaktu-waktu akan berbalik menjadi kekecewaan dan bahkan penentangan.*(Makmur Gazali)